HUKUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH,
YANG BERMANFAAT BAGI PRAKTIK
HUKUM PERBANKAN SYARI’AH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perbankan memiliki peran penting
dalam pembangunan khususnya
dalam menunjang pertumbuhan ekonomi
negara. Hukum perbankan adalah
hukum positif yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank. Bank adalah salah satu lembaga pembiayaan yang
menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali pada masyarakat.[1] Sesuai dengan Pasal
1 UU No. 7 Tahun
1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
(selanjutnya disebut UU Perbankan)
menyatakan bahwa: Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau dalam bentuk-
bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan
taraf hidup
orang banyak.[2]
Sistem perbankan mengalami perubahan yang cukup prinsipil terutama
setelah diundangkannya Undang-Undang
Nomor
10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan,
karena
Undang-Undang
Perbankan
yang lama memang
sudah
sangat tidak memadai lagi menampung
permasalahan dan kompleksitas yang timbul dari industri
perbankan sejalan dengan pesatnya
perkembangan sektor
perekonomian
khususnya perbankan,
yang mengikuti
tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap jasa-jasa perbankan. Disamping itu, dari sisi pelaksanaan kebijakan
moneter dan perbankan,
agar dapat lebih efektif
maka undang- undang perbankan
dituntut untuk selalu akomodatif.[3]
Pada
saat ini lembaga perbankan sangat berperan penting dalam
pembangunan ekonomi dan
mengalami
perkembangan yang sangat pesat.
Sistem perbankan konvensional yang
telah ada sebelumnya menjadi semakin
lengkap dengan adanya
system perbankan Islam atau perbankan syariah. Salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam adalah
didirikannya Islamic Development
Bank (IDB) pada tahun 1975 yang beranggotakan 22 negara
Islam pendiri. Berdirinya
IDB
ini kemudian
memicu
berdirinya
bank-bank
Islam di seluruh dunia,
termasuk
di Indonesia.
Bank Syariah adalah Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”. Pada
dasarnya, aktivitas bank
syariah tidak jauh
berbeda
dengan aktivitas bank-bank konvensional yang telah ada, yang menjadi kritik system perbankan syariah terhadap perbankan
konvensional bukan dalam hal fungsinya sebagai lembaga
intermediasi
keuangan (Financial Intermediary Institution), akan tetapi karena didalam
operasionalnya terdapat unsur-unsur yang
dilarang berupa unsur perjudian
(maisir), unsur ketidakpastian/keraguan (Gharar), unsur
bunga (Interest/riba) dan
unsur kebathilan.[4]
Di Indonesia
eksistensi Perbankan Syariah secara yuridis sebenarnya telah dimulai dengan dikeluarkanya Paket
Kebijakan Desember 1983 (Pakdes 83) tentang penghapusan
pagu
kredit
dan menyebutkan
bahwa bank bebas
menentukan suku bunga kredit, tabungan
dan deposito. Kemudian
dikeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88) tentang
izin
pendirian usaha bank
baru. Kemudian secara kelembagaan dimulai dengan berdirinya Bank Islam pertama adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang baru bisa
didirikan pada tahun
1991 dengan akte pendirian tanggal 1 November 1991 dan beroperasi pada tanggal
1 Mei 992.[5]
Perbankan Syariah semakin berkembang
setelah dikeluarkannya Undang-Undang
No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan membagi bank menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). UU ini secara eksplisit juga memperbolehkan
bank menjalankan usahanya berdasarkan
prinsip bagi hasil.
Hal
tersebut kemudian dipertegas
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Secara substansi, UU ini merupakan peraturan perbankan nasional
yang muatannya
lebih banyak mengatur bank konvesional
dibandingkan bank
syariah. Tidak banyak pasal yang mengatur tentang bank syariah dalam UU ini. Kata ‘bank syariah’ juga tidak
disebutkan secara eksplisit.
UU ini hanya menyatakan
bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip pembagian hasil keuntungan atau prinsip bagi hasil (profit sharing) (lihat Pasal 1 butir 12 &
Pasal 6 huruf m
dan
Pasal 13 huruf c). Tidak
disebutkannya kata ‘syariah’ atau ‘Islam’
secara
eksplisit dalam UU ini disebabkan masih tidak kondusifnya situasi politik pada
saat itu. Pemerintah
masih ‘alergi’ dengan
penggunaan kata
‘syariah’
atau ‘Islam’.
Meskipun
Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 mengizinkan bank
beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak ada petunjuk lebih lanjut
bagaimana
bank tersebut mesti dijalankan. Oleh karena
itu,
untuk memberikan
pemahaman dan petunjuk
yang jelas,
maka pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Menurut Pasal 1 butir 1 PP No.
72, yang
dimaksud dengan bank
berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank
Umum atau Bank Prekreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Adapun
yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil sebagaimana yang
dimaksud Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syari’at.
Berdasarkan pasal-pasal ini dapat dipahami bahwa ungkapan bank bagi hasil
secara prinsip merupakan terminologi yang
digunakan untuk bank Islam atau bank Syariah. Artinya yang
dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip
muamalah yang
berdasarkan pada syariah. Kata syariah secara jelas merujuk pada
hukum Islam. Maka, prinsip dasar bank syariah dalam menjalankan
aktivitasnya adalah hukum Islam
atau syariah.
Dapat
dicatat
bahwa sejak
diberlakukanya
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintahnya, maka bank syariah di Indonesia
telah menjadi kenyataan. Hal ini dianggap sebagai front gate beroperasinya bank
syariah di Indonesia.
Namun, peraturan-peraturan tersebut
masih dianggap belum memadai untuk mendorong perkembangan
bank syariah, karena sekedar mengatur bank yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, namun tidak secara
definitif dan komprehensif mengatur akitifitas
bank berdasarkan prinsip syariah.
Pada
tahun 1998, UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992)
di amandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Berbeda dengan UU No. 7
Tahun 1992 yang tidak mengatur secara
pasti perbankan syariah, ketentuan-ketentuan mengenai
perbankan syariah dalam UU No. 10 Tahun 1998 lebih
lengkap (exhaustive) dan
sangat membantu perkembangan
perbankan syariah dan memberikan landasan hukum yang
lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia.
UU No. 10 Tahun 1998 secara tegas
menggunakan kata bank
syariah dan mengatur secara jelas bahwa bank, baik bank umum dan BPR,
dapat beroperasi dan melakukan pembiayaan berdasarkan pada
prinsip syariah.
(lihat Pasal 1 butir 12, Pasal 7 huruf c, Pasal 8 ayat (1 & 2), Pasal 11 ayat (1) &
(4a), Pasal 13, Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 37 ayat (1) huruf c). Ketentuan di
atas menunjukkan perluasanan eksistensi bank syariah dalam melaksanakan kegiatannya,
dalam
UU sebelumnya hal tersebut tidak
diatur secara jelas.
Industri perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah keluarnya
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan
berbagai peraturan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dasar
hukum perbankan syariah di Indonesia semakin kuat dan jumlah bank syariah semakin meningkat secara signifikan. Dimana undang-undang
ini dikeluarkan guna
menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan
keyakinan
kepada masyarakat terhadap perbankan syari’ah.
Sehubungan
dengan hal tersebut, pengaturan
tersendiri bagi Perbankan Syariah merupakan hal yang
mendesak dilakukan, untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip
syariah,
prinsip kesehatan bank
bagi
bank syariah,
dan
yang tidak kalah
penting
diharapkan dapat memobilisasi dana dari negara
lain yang mensyaratkan pengaturan
terhadap
bank
syariah
dalam undang-undang tersendiri.[6]
Beberapa praktisi dan pakar
perbankan syariah berpendapat bahwa
peraturan
yang ada
masih tidak cukup untuk mendukung operasional perbankan syariah di Indonesia.
Sebagai contoh,
bank syariah beroperasi hanya
berdasarkan pada
fatwa
Dewan
Syariah
Nasional yang kemudian
diadopsi Bank Indonesia dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia.
Peraturan Bank
Indonesia yang
tersebar dalam berbagai bentuk kadangkala overlapping satu
sama lainnya. Kemudian, bank syariah mempunyai karakterisitk yang berbeda dengan bank
konvensional, sehingga pengaturan bank
syariah
dan
bank konvensional dalam
satu Undang-Undang yang sama dipandang tidak
mencukupi. Oleh karena itu, perlu adanya UU khusus yang
mengatur bisnis
perbankan syariah secara konfrehensif merupakan suatu kebutuhan
yang sangat mendesak untuk diwujudkan.
Pada
tahun 2008, Dewan Perwakilan Rakyat dengan dukungan
pemerintah, mengesahkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari 70 pasal dan dibagi menjadi 13 bab. Industri perbankan
syariah
berkembang lebih cepat setelah keluarnya Undang-Undang
No
21
Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah
jelas merupakan jaminan bagi kepastian
usaha dan jaminan perlindungan hukum
yang sangat
diperlukan, sebab UU ini menjadi payung hukum bagi semua kalangan yang berhubungan dengan bank
syariah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang akan
diteliti yaitu antara lain
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah azas, fungsi dan tujuan perbankan syari’ah?
2. Jenis-jenis dan kegiatan usaha apa saja di Perbankan Syariah?
3. Bagaimana
bentuk hukum dan kepemilikan bank syari’ah?
4. Bagaimana
persyaratan dan prosedur pendirian bank syari’ah?
5. Bagaimana
sistem pengawasan dan pembinaan bank syari’ah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Azas
Perbankan Syari’ah
Berdirinya Bank syariah di Indonesia
tentunya memiliki landasan atau dasar hukum yang melindungi dan menjadi dasar
menjalankan segala aktivitas perekonomian yang meliputi kegiatan perbankan.
Dalam berjalannya segala aktivitas perbankan, bank syariah memiliki dua dasar
hukum berdasarkan peraturan negara dan berdasarkan Al-Qur’an dan hukum islam
yang lainnya. Inilah yang membedakan antara Bank syariah dan Bank konvensional.
Sebelum kita membahas tentang dasar
hukum Bank syariah, langkah baiknya kita mnegetahui sumber hukum yang ada di
Indonesia ini, ada beberapa landasan atau peraturan perundang-undangan yang
dijadikan sebagai sumber hukum yang telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004
pasal 7 ayat 1 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, antara lain.
- Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
- Undang-undang atau Peraturan Pemerintahan pengganti Undang-undang.
- Peraturan Pemerintah (Permen)
- Peraturan Presiden (Perpres)
- Peraturan Daerah (Perda)
Perbankan syariah dalam melakukan
kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip
kehati-hatian. Kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah antara lain
adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan oleh
syariat islam. Unsur-unsur tersebut antara lain :
a.
Riba
Adalah
penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu
penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan
nasabah penerima fasilitas mengembalikan karena berjalannya waktu (nasi’ah).
b.
Maisir
Adalah transaksi
yang digantungkan atau tidak jelas kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan.
c.
Gharar
Dapat diartikan
sebagai transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi yang dilakukan
kecuali diatur lain dalam syariah.
d.
Haram
Dapat diartikan
sebagai transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah.
e.
Zalim
Dapat diartikan
sebagai transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Sedangkan
yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung
nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan.
Dan yang dimaksud dengan prinsip
kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan
perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tujuan pengadaan perbankan syariah telah
dituangkan dalam Undang-undang No 21 tahun 2008 pasal 3 tentang perbankan
syariah yang menyatakan bahwa:
“Perbankan
Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan kesejahteraan rakyat
(Penjelasan : Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional,
Perbankan Syariah tetap berpegang pada Prinsip Syariah secara menyeluruh
(kaffah) dan konsisten (istiqomah).
Apabila selama ini dikenal fungsi bank
konvensional adalah sebagai intermediary (penghubung) antara pihak yang
kelebihan dana dan membutuhkan dana selain menjalankan fungsi jasa keuangan,
maka dalam Bank syariah mempunyai fungsi yang berbeda dengan bank konvensional.
Menurut Undang-undang nomor 21 tahun
2008 pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan (4) memberikan beberapa fungsi dalam bank
syariah sebagai berikut :
1)
Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat.
2)
Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul
mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau
dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat
(Penjelasan : yang dimaksud dengan “dana sosial lainnya”, antara lain adalah
penerimaan Bank yang berasal dari pengenaan sanksi terhadap Nasabah (ta’zir).
3)
Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang
dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak
pemberi wakaf (wakif).
4)
Pelaksanaan
fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ikatan Akuntan Indonesia di dalam
Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (2003:1) menjelaskan bahwa fungsi
bank syariah sebagai :
1.
Manager
Investasi
Bank syariah
dapat mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad Mudharabah
sebagai agen investasi.
2.
Investor
Bank syariah
dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang
dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan
syariah. Keuntungan yang diperoleh dibagi secara proporsional sesuai nisbah
yang disepakati antara bank dan pemilik dana.
3.
Penyedia jasa
keuangan dan lalu lintas pembayaran
Bank syariah
dapat melakukan kegiatan jasa-jasa layanan perbankan seperti bank non-syariah
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
4.
Pengembang
fungsi sosial
Bank syariah
dapat memberikan pelayanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana zakat, infaq,
shadaqah dan pinjaman kebajikan (qardhul hasan) sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Dari perincian asas, tujuan dan fungsi
bank syariah tersebut terdapat beberapa garis besar yang dapat disimpulkan yaitu
asas-asas dalam bank syariah berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan
prinsip kehati-hatian. Tujuan bank syariah yakni menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan
pemerataan kesejahteraan rakyat. Sedangkan fungsi bank syariah dapat
disimpulkan yakni sebagai penghimpun dana masyarakat untuk dikelola dan
disalurkan dalam bentuk investasi dan memberikan pelayanan jasa perbankan yang
sesuai dengan prinsip syariah serta menjadi pengemban fungsi sosial.
B. Fungsi
Perbankan Syari’ah
Pada
dasarnya fungsi bank syariah tidak jauh berbeda
dengan bank
konvensional atau
bank
umum lainnya, seperti yang
tertera
dalam UU RI no 21 tahun 2008
tentang perbankan syariah
bahwasannya :
1.
Bank Syariah dan UUS (Unit Usaha Syariah) wajib menjalankan
fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi
sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,
infak, sedekah, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
3.
Bank
Syariah dan UUS
dapat
menghimpun dana sosial
yang
berasal
dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola
wakaf ( nazhir ) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
4.
Alat transmisi
kebijakan moneter (sama seperti bank Konvensional).
C. Tujuan
Perbankan Syari’ah
Bank
syariah
adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan
masalah
riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh
dunia
perbankan syariah.
Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa
belakangan ini para ekonom muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan membangun model teori ekonomi yang bebas dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi
dan
distribusi
pendapatan. Oleh karena itu, maka mekanisme perbankan bebas bunga yang biasa disebut dengan bank syariah didirikan.
Setelah
di dalam
perjalanan
sejarah bank-bank yang telah
ada
(bank konvesional) dirasakan mengalami kegagalan menjalankan fungsi utamanya menjembatani antara pemilik modal
atau kelebihan dana dengan
pihak yang membutuhkan
dana, maka dibentuklah bank-
bank Islam dengan tujuan-tujuan sebagai berikut:
a.
Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara
islami agar terhindar dari praktek riba.
b.
Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap Bank non–Islam
(konvesional) yang menyebabkan
umat Islam
berada di bawah
kekuasaan bank.
c.
Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan keuntungan yang
sah
menurut
islam.
d.
Menghindari bunga
bank uang yang dilaksanakan bank konvesional.
e.
Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara
ekonomis, berperilaku bisnis dalam meningkatkan
kualitas hidup
mereka.
f.
Menghindari Al Iktinaz
yaitu
menahan
uang (dana) dan
membiarkannya menganggur dan tidak
berputar.
g.
Untuk membantu
menanggulangi
(mengentaskan) masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program
utama dari negara–negara yang sedang berkembang.
h.
Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi.
i.
Menjaga kestabilan ekonomi/ moneter pemerintah.
j.
Berusaha membuktikan bahwa konsep perbankan Islam menurut
syariah Islam dapat beroperasi, tumbuh dan berkembang melebihi
bank-bank dengan sistem lain.
D. Jenis-Jenis
dan Kegiatan Usaha Bank Syari’ah
1. Prinsip-prinsip Islam dalam Kegiatan Usaha Bank Syariah
Dalam agama Islam terdapat berbagai
prinsip yang mendasari produk dalam bank syariah sebagai berikut.
a.
Mudharabah
Mudharabah merupakan
perjanjian kerja sama antara pemilik modal yang sering disebut shahibul maal
dan pengelola dana yang disebut dengan mudharib. Pembagian keuntungan
berupa hasil kesepakatan di awal perjanjian atau akad. Apabila terjadi
kerugian, maka akan ditanggung oleh shahibul maal.
Berbeda
halnya apabila kerugian yang terjadi merupakan kecurangan, penyelewengan,
ataupun penyalahgunaan oleh mudharabah. Mudharabah sendiri
dibagi menjadi dua jenis di antaranya adalah mudharabah mutlaqah
dan juga mudharabah muqayyadah.
b.
Musyarakah
Musyarakah adalah jenis
akad kerja sama di mana dua atau lebih shihabul maal yang membutuhkan
biaya untuk membangun suatu usaha atau proyek yang dikelola bersama.
Pembagian keuntungan dilakukan sesuai
dengan kesepakatan awal. Bila di tengah jalan usaha yang dijalani mengalami
kerugian, maka ditanggung bersama-sama sesuai dengan jumlah modal yang
disetorkan. Terdapat empat jenis dari syirkah di antaranya adalah syirkah
mufawadhah, syirkah ‘inan, syirkah a’mal, serta syirkah wujuh.
c.
Wadi’ah
Wadi’ah
merupakan titipan dari suatu pihak ke pihak lain dan dikembalikan setiap saat
bila pemilik menghendakinya. Prinsip ini dibedakan menjadi dua macam, yakni wadi’ah
yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah.
Pada
wadi’ah yad al-amanah, penerima wadi’ah tidak bertanggung
jawab jika ada kerusakan ataupun kehilangan yang bukan karena kelalaiannya.
Sementara pada wadi’ah
yad adh-dhamanah, penerima wadi’ah boleh menggunakannya sesuai
dengan izin dari pemiliknya, tentunya pada saat dikembalikan harus utuh kepada
pemiliknya.
d.
Murabahah
Murabahah
adalah perjanjian jual beli dengan melibatkan pihak bank syariah dan nasabah
yang disepakati oleh kedua belah pihak.
e. Salam
Salam
adalah transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan terlebih dahulu, di
mana pembeli membayar barang yang telah disebutkan spesifikasinya dan barangnya
dikirim kemudian. Salam biasanya dipergunakan untuk produk-produk
pertanian jangka pendek.
Dalam
hal ini, bank syariah bertindak sebagai pembeli produk dan memberikan uangnya
lebih dulu, sedangkan para nasabah menggunakannya sebagai modal untuk mengelola
pertaniannya.
f.
Istishna
Istishna
merupakan transaksi jual beli yang mirip dengan prinsip salam, namun
penyerahan uangnya bisa dilakukan di kemudian hari. Pembayaran bisa dilakukan
dengan sistem cicilan maupun ditangguhkan terlebih dahulu.
g. Ijarah
Prinsip
ijarah merupakan perjanjian yang diperuntukkan bagi pemindahan hak
guna atas barang ataupun jasa dengan membayar sewa sejumlah tertentu tanpa
adanya pemindahan kepemilikan.
h.
Qardh
Qardh
merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang atau barang, tanpa adanya tujuan
untuk meraih keuntungan dari kegiatan tersebut. Akan tetapi pihak bank syariah
dalam qardh yang berfungsi sebagai pemberi pinjaman boleh meminta
ganti biaya untuk kontraknya.
i.
Hawalah
Hawalah
adalah pengalihan utang yang dilakukan dari orang yang berutang kepada orang
lain yang memiliki kewajiban menanggungnya.
j.
Wakalah
Wakalah
merupakan prinsip di mana nasabah memberikan kuasa kepada bank syariah untuk
mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa tertentu. Wakalah biasanya
diterapkan untuk pembuatan Letter of Credit, atas pembelian barang di
luar negeri.
E. Perizinan,
Bentuk-Bentuk Hukum Bank dan Kepemilikan Bank Syari’ah
1.
Dasar Hukum
Pada awalnya perizinan pendirian dan
kepemilikan bank telah dimuat dalam Undang-Undang Perbankan, yang menentukan
bahwa pendirian bank dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia.[7]
Sedangkan pengaturan persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi oleh para pihak
dituangkan dalam peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dan memuat
antara lain: kepemilikan saham, persyaratan dokumen harus dipenuhi, dan kondisi
keuangan calon pendiri bank.[8]
Sementara itu pengaturan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hanya dapat
diizinkan bagi warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh
pemiliknya warga negara Indonesia, Pemerintah Daerah atau dapat dimiliki
bersama diantara ketiganya.[9]
Dalam perkembangannya, telah dikeluarkan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang mengatur
perizinan kegiatan Usaha Bank Syariah. Kewajiban yang dimaksud adalah untuk
memeperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dari Bank
Indonesia sebelum melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau Unit Usaha
Syariah.[10]
Perizinan Bank Indonesia diperlukan oleh
Bank konvensional apabila akan mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah. Demikian pula, kewajiban untuk membuka Unit Usaha Syariah (UUS) di
Kantor Pusat Bank dengan izin Bank Indonesia adalah berlaku bagi Bank Umum
Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.[11]
Pengajuan perizinan usaha Bank Syariah
dengan kewajiban untuk memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang :
· Susunan Organisasi dan Kepengurusan
· Permodalan
· Kepemilikan
· Keahlian di bidang Perbankan Syariah
· Kelayakan Usaha
Terkait dengan pengaturan persyaratan
untuk memperoleh izin usaha Unit Usaha Syariah (UUS) akan diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bank Indonesia. Persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia sekurang-kurangnya memuat tentang :
· Susunan Organisasi dan Kepengurusan
· Modal Kerja
· Keahlian di bidang Perbankan Syariah
· Kelayakan Usaha
2.
Perizinan
Pendirian dan Kegiatan Usaha Bank Umum Syariah
Bank Indonesia telah mengeluarkan
ketentuan Bank Umum Syariah melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/3/PBI/2009. Berdasarkan peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009
tersebut, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum
yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4434),
sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 90, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4536) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[12]
Dalam penjelasan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah, dirumuskan bahwa
peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia mengandung ketentuan-ketentuan
perizinan pendirian dan kegiatan usaha yang telah mempertimbangkan kondisi
perekonomian nasional yang telah beruah dengan cepat, munculnya berbagai
tentangan yang semakin kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian
internasional.
Persyaratan dalam pengajuan perizinan
dan pendirian bank ditentukan harus adanya dukungan permodalan yang kuat dan
pemilik bank yang patut serta memiliki kondisi keuangan yang sehat. Maksud
pengaturan tersebut adalah untuk meningkatkan kemampuan bank, sehingga dapat
bersaing dalam dunia perbankan internasional.
Pengaturan pendirian dan/atau pemilikan
Bank Umum Syariah hanya dapat dilakukan oleh :
a.
Warga Negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia.
b.
Warga Negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing
secara kemitraan; atau
c.
Pemerintah Daerah.[13]
Pendirian Bank
Umum Syariah dan kegiatan usaha yang akan dijalankannya adalah setelah bank
yang bersangkutan memperoleh izin Bank Indonesia. Pemberian izin Bank Indonesia
tersebut melalui 2 tahap yaitu:
1)
Persetujuan Prinsip, yaitu
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank Adapun pengaturan yang
berkenaan dengan persetujuan prinsip atas permohonan pendirian Bank Umum
Syariah adalah sebagai berikut:
a)
Jangka waktu dalam memberikan
persetujuan atau penolakannya atas permohonan yang dimaksud adalah
selambat-lambatnya 60 hari setelah dokumen permohonan persetujuan prinsip telah
diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia (Pasal 8 ayat (1) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009)
b)
Bank Indonesia melakukan:
·
Penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh Bank Indonesia untuk
memperoleh keyakinan atas kebenaran dokumen yang disampaikan.
·
Analisis yang mencakup antara
lain tingkat persaingan yang sehat antar bank dan Unit Usaha Syariah, tingkat
kejenuhan jumlah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah serta pemerataan
pembangunan ekonomi nasional.
·
Uji kemampuan dan kepatuhan (fit and proper test) terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali, calon Anggota Dewan Komisaris, dan calon Anggota
Direksi, serta wawancara terhadap calon Anggota Dewan Pengawas Syariah. (pasal
8 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009).
c)
Pihak-pihak yang mengajukan
permohonan pendirian Bank wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia
mengenai keseluruhan rencana pendirian bank. Penjelasan pasal tersebut
menyebutkan bahwa hal-hal yang harus dipresentasikan oleh pemohon anatara lain:
tujuan dan alasan pendirian Bank, sumber permodalan dan kepemilikan, pangsa
utama penghimpunan dana, pangsa utama penyaluran dana, serta rencana
srtuktur dan personil organisasi (pasal
8 ayat (3) Peraturan Bank Indonesi Nomor 11/3/PBI/2009).
d)
Persetujuan prinsip tersebut
berlaku untuk jangka waktu satu tahun terhitung sejak tanggal persetujuan
diterbitkan (pasal 9 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009).
e)
Pihak yang mendapat persetujuan
prinsip dilarang melakukan kegiatan usahasebelum mendapat izin usaha (Pasal 9
ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009).
f)
Apabila setelah jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat (1) pihak yang telah mendapat
persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat (2) belum mengajukan
permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang
telah diberikan menjadi tidak berlaku (Pasal 9 ayat (3) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009).
2)
Izin Usaha, yaitu izin yang
diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank.
Pengajuan perizinan
kegiatan usaha Bank Umum Syariah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a)
Persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha diberikan paling lambat 60 hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap (Pasal 11 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/3/PBI/2009).
b)
Persetujuan atau penolakan atas
izin usaha diberikan oleh Bank Indonesia berdasarkan pada:
·
Penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen.
·
Uji kemampuan dan kepatuhan (fit and proper test) dan wawancara
terhadap pihak-pihak yang terdapat penggantian. Pelaksanaan ujian kemampuan dan
kepatuhan (fit and proper test) dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku (Pasal 11 ayat (2)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009).
c)
Bank yag telah mendapat izin
usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha Bank paling lambat 60
hari terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan (Pasal 12 ayat (1)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009).
d)
Laporan Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Bank Syariah wajib disampaikan oleh presiden Direktur dan Direktur Utama
Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 hari setelah tanggal pelaksanaan
kegiatan usaha (Pasal 12 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/3/PBI/2009).
e)
Apabila dalam jangka waktu
tersebut terlampaui dan Bank belum melakukan kegiatan usaha maka izin yang
telah diberikan menjadi tidak berlaku (Pasal 12 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/3/PBI/2009).
f)
Bank yang telah mendapat izin
usaha dari Bank Indonesia menurut pasal 13 Peraturan Bank Indonesia wajib
mencamtumkansecara jelas kata-kata “Syariah”
sesudah kata “Bank” atau setelah nama bank pada penulisan namanya.
Penjelasan pasal tersebut dicontohkan
sebagai berikut: Bank Syariah XYZ atau Bank XYZ Syariah (Pasal 13 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009).
3)
Bentuk Hukum Bank Umum Syariah
Dalam perkembangannya, pengaturan bentuk
badan hukum bagi Bank Umum Syariah menurut Undang-Undang Perbankan Syariah
adalah Perseroan Terbatas.[14]
sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan tersebut telah dimuat Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 yang menentukan bentuk badan Bank adalah
Perseroan Terbatas. Yang dimaksud dengan “perseroan terbatas” di dalam
penjelasan pasal tersebut adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya.[15]
F. Persyaratan
dan Prosedur Pendirian Bank Syari’ah
1)
Ketentuan pendirian Perbankan
Syariah
Pasal 16 UU No. 10 Tahun 1998 menetapkan
bahwa persyaratan dan tata cara pendirian Bank Umum dan BPR syariah di tetapkan
oleh Bank Indonesia. Ketentuan yang lebih rinci mengenai tata cara
pendirian dan kegiatan usaha bank syariah di jabarkan lebih lanjut dalam bentuk
Surat keputusan Direksi Bank Indonesia yaitu SK Direksi BI No. 32/33/KEP/DIR
tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum, SK Direksi No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei
1999 tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah, SK Direksi BI No.
32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Pengkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah.
Kedua SK Direktur BI yang terakhir kini
telah diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/ 2004 tanggal
14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip syariah jo. PBI No. 7/35/PBI/2005 tanggal 25 September 2005 tentang
Perubahan atas PBI No. 6/24/Pbi/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan
kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Pengkreditan Rakyat
Berdasarkan Prinsip Syariah.[16]
2)
Ketentuan Pendirian Unit Usaha
Syariah
Unit usaha syariah adalah unit usaha
yang didirikan oleh bank Konvensional berdasarkan prinsip syariah. Ketentuannta
tercantum dalam UU No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi:
Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah melalui:
- Pendirian kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang baru; atau
- Pengubahan kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah.
- Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah tidak melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Dengan adanya UU tersebut sekaligus
menghapus ketentuan dalam Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 yang melarang adanya dual
banking system dalam sistem perbankan nasional.
Sementara itu dalam Pasal 1 angka 3 UU
No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998
dikemukakan pengertian Bank Umum, yaitu:
“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang
dalam kegiatannya memberi jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Dengan merujuk kepada penjelasan di
atas, maka Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
diperkenankan juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan
cara mendirikan kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabangnya yang khusus
melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah; atau mengubah kantor cabang
atau kantor di bawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip
syariah. Kantor cabang suatu bank yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah juga tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha sekaligus secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
Dalam
rangka persiapan perubahan kantor bank, kantor cabang atau kantor di bawah
kantor cabang yang sebelumnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional
dapat terlebih dahulu membentuk unit tersendiri yang melaksanakan kegiatan
berdasarkan prinsip syariah di dalam kantor bank yang bersangkutan. Dengan
demikian, UU No. 10 Tahun 1998 secara khusus memperkenankan Bank Umum
konvensional melakukan kegiatan usaha secara sekaligus (double)
berdasarkan prinsip konvensional dan prinsip syariah, yang penyelenggaraannya
dilakukan secara terpisah. Namun, sebaliknya bagi Bank Umum yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sama sekali tidak dibenarkan
melakukan kegiatan usaha secara konvensional, sekalipun kegiatan tersebut
dilakukan dengan membuka suatu kantor cabang khusus yang hanya melakukan usaha
secara konvensional.
3) Syarat-syarat
pendirian bank Syariah
Terdapat tiga bentuk bank syariah.
Yaitu, Bank Umum Syariah, Bank Perkreditan Rakyat Syariah, dan Unit Usaha
Syariah.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam pendirian perbankan Syariah, terdiri dari syarat kepemilikan,
syarat permodalan, syarat kepengurusan, serta persyaratan lainnya. Antara lain:
I.
Bank Umum Syariah
a.
Kepemilikan dapat dimiliki oleh
pihak domestik dan pihak asing
b.
Berbadan hukum Indonesia dan
harus dimiliki oleh sedikitnya dua warga negara Indonesia (WHI), atau badan
hukum Indonesia (BHI) atau warga negara asing atau badan hukum asing (WHI/BHI)
secara kemitraan
c.
Pemilik tidak termasuk daftar
orang tercela atau DOT dan memiliki Integritas
d.
Nilai modal disetor paling kecil
Rp. 1.000.000.000.000,- (satu triliun). Adapun kepemilikan asing hanya boleh
paling banyak 99 persen dari modal disetor yang dapat berupa rupiah atau valuta
asing. BI juga baru akan mengeluarkan persetujuan prinsip jika pemilik bank
sudah menyetorkan 30 persen dari modal yang diwajibkan.
e.
Sumber dana untuk modal disetor
tidak boleh berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun
dari bank/atau pihak lain di Indonesia.
f.
Sumber dana modal disetor tidak
boleh dari sumber yang diharamkan termasuk untuk tujuan pencurian uang.
g.
Direksi tidak termasuk orang
tercela
h.
Direksi memilki kemampuan dan
integritas yang baik
i.
Direksi berpengalaman dalam
operasional bank sebagai pejabat eksekutif
j.
Direksi dilarang memiliki
hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua termasuk besan dengan anggota
direksi lain atau anggota dewan komisaris.
k.
Direksi dilarang merangkap
jabatan sebagai anggota dewan komisaris, direksi, atau pejabat eksekutuf pada
bank, perusahaan atau lembaga lain.
l.
Direksi dilarang secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama memiliki saham melebihi 25% dari modal
disetor pada perusahaan lain.
m. Harus
mendapat ijin Direksi Bank Indonesia
n.
Dilaporkan secara tertulis kepada
direksi Bank Indonesia dan mendapatkan persetujuan Menteri Kehakiman.[17]
II.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
a.
Warga Negara Indonesia (Badan
Hukum Indonesia) atau Perorang
b.
Pemilik tidak termasuk daftar
Orang Tercela (DOT) dan memiliki integritas sebagaimana yang telah diatur dalam
Bank Indonesia
c.
Dimiliki oleh dua pihak atau
lebih
d.
Modal yang harus disetor untuk mendirikan
BPR Syariah ditetapkan sekurang- kurangnya sebesar :
1)
Rp. 2.000.000.000 (dua miliar)
untuk BPR Syariah yang didirikan didaerah Khusus ibukota Jakarta raya dan
kabupaten / kotamadya tangaerang,bogor, bekasi, dan karawang
2)
Rp 1.000.000.000 ( satu miliar
rupiah) Untuk BPRS yang didirikan diwilayah ibukota propinsi diluar wilayah
yang disebut pada butir 1
3)
Rp 500.000.000. ( lima ratus juta
rupiah) untuk BPRS yang didirikan diluar wilayah yang disebut pada butir 1 dan
2
4)
Harus mendapat ijin Direksi Bank
Indonesia
Pemberian ijin pada dua perbankan
syariah diatas harus memenuhi dua pinsip. Yaitu:
1)
Persetujuan Perinsip, yaitu
persetujuan untuk melakuakan persiapan pendirian BPR Syariah
2)
Ijin Usaha, yaitu izin yang
diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR Syariah setelah persiapan
persetujuan perinsip dilakukan.[18]
3)
Unit Usaha Syariah
Menurut PBI No. 4/1/2002 jo. PBI No. 8/3/PBI/2006, pembukaan kantor cabang
Syariah pada Bank Umum Konvensional dapat dilakukan dalam tiga cara, yaitu
membuka kantor cabang baru, mengubah atau konversi kantor cabang konvensional
yang ada, dan meningkatkan status dan mengubah kantor cabang pembantu
konvensional menjadi cabang syariah penuh. Pemberian perizinan pembukaan
kantor cabang syariah dilakukan dalam dua tahap yaitu persetujuan prinsip an
izin pembukaan kantor cabang syariah.
Bank Umum
Konvensional yang membuka kantor cabang syariah wajib melaksanakan hal-hal
sebagai berikut:
1)
Membentuk
Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu satuan kinerja setingkat yang berfungsi sebagai
kantor induk dari seluruh kantor cabang syariah. Unit tersebut berada di kantor
pusat bank dan dipimpin oleh seorang anggota direksi atau pejabat satu tingkat
di bawah direksi.
2)
Memiliki
Dewan Pengawas Syariah (DPS) yaitu badan independen yang ditempatkan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN) pada bank. Tugas utama DPS adalah untuk mengawasi
kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syariah
yang telah difatwakan oleh DPS.
3)
Bank yang
telah membuka Unit Usaha Syariah, dapat membuka Kantor Cabang Syariah dengan
izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia, dengan cara:
a.
Membuka
Kantor Cabang Syariah yang baru
b.
Mengubah
kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
menjadi Kantor Cabang Syariah
c.
Meningkatkan
status kantor di bawah Kantor Cabng yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah
d.
Mengubah
kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah, dan
atau
e.
Meningkatkan
status Kantor Cabang Pembantu yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah.
4)
Bank yang
membuka Kantor Cabang Syariah wajib menyediakan modal kerja kurang-kurangnya
sebesar:
a.
Rp 2
Miliar (dua miliar) untuk setiap Kantor Cabang Syariah yang berkedudukan di
wilayah Jabotabek, atau
b.
Rp 1
Miliar (satu miliar rupiah) untuk setiap Kantor Cabang Syariah yang
berkedudukan di luar wilayah jabotabek.
5)
Kantor
bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah wajib
mencantumkan kata “Kantor Cabang Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya
dan dilarang untuk mengubah kegiatan Kantor Cabang Syariah menjadi kantor
cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
G. Pengawasan
dan Pembinaan Bank Syari’ah
1)
Mekanisme Pengawasan pada Bank Syariah
Pada dasarnya pengaturan dan pengawasan
bank syariah dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang
mempunyai kepentingan dengan bank, bahwa bank-bank dari segi finansial
tergolong sehat, dan sesuai dengan ajaran Islam serta di dalam bank tidak
terkandung segi-segi yang merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat
yang menyimpan dananya di bank. Berdasarkan kerangka keuangan Islam pengawasan
setidaknya harus mencakup dua dimensi utama, yakni patuh terhadap standar yang
telah ditentukan oleh Basel Committeedan Ketentuan hukum tentang bank
dan keuangan di Negara masing-masing; patuh terhadap norma-norma syariah untuk
memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa produknya tidaklah sama dengan
produk yang ditawarkan system konvensional.[19]
Di Indonesia, Bank Indonesia secara
spesifik membuat aturan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009
tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
mengatur secara konprehensif mekanisme pengawasan di bank syariah meliputi
komposisi, karakteristik, struktur, dan mekanisme dasar yang harus dimiliki
oleh Dewan Komisaris dan Direksi.[20]
Selain itu, diatur juga tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah.
Berikut
dijelaskan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan
Pengawas Syariah.
a)
Dewan Komisaris
Peraturan perundang-undangan memberikan
tanggung jawab yang jelas dan tegas terhadap tanggung jawab Dewan Komisaris. Mengingat
kedudukan Dewan Komisaris sebagai organ perseroan, tanggung jawab ini bertujuan
untuk menjamin agar Dewan Komisaris melakukan fungsi pengawasan dengan I’tikad
baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab. Kesalahan maupun kelalaian Dewan
Komisaris yang menyebabkan kerugian bagi perseroan harus dipertanggung jawabkan
oleh Dewan Komisaris bahkan sampai pertanggungjawaban pribadi. Untuk itu
PBI-2009 mengatur tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris.
Jumlah anggota dewan Komisaris paling
kurang 3 (tiga) orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi,
terdiri dari Komisaris dan Komisaris Indepennden. Jumlah Komisaris Independen
Paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris.
Semua Anggota dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan telah lulus Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test). Selain itu, Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai
anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1 (satu)
lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan dan tidak memiliki hubungan keluarga
dengan anggota dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
Selanjutnya, mengenai tugas dan tanggung
jawab Dewan Komisaris pada perbankan sebagaimana diatur dalam PBI-2009, antara
lain:
- Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi
- Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada Direksi.
- Dalam melakukan pengawasan, Dewan Komisaris wajib memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis BUS dan Dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional BUS, kecuali pengambilan keputusan untuk pemberian pembiayaan kepada Direksi sepanjang kewenangan Dewan Komisaris tersebut ditetapkan dalam Anggaran Dasar BUS atau dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
- Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
- Dewan Komisaris wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya, baik itu pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan maupun suatu kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BUS.
- Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi dan Nominasi, dan Komite Audit. Pengangkatan anggota komite ditetapkan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris.
- Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah dibentuk menjalankan tugasnya secara efektif dan wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja. Pedoman dan tata tertib kerja komite harus dievaluasi dan dilakukan pengkinian secara berkala, dan pedoman dan tata tertib kerja ini sifatnya mengikat bagi setiap anggota Dewan Komisaris. Dalam pedoman dan tata tertib ini harus mencantumkan waktu kerja dan pengaturan rapat.
- Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Minimal rapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan dan wajib dihadiri paling kurang oleh 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Komisaris.
- Rapat Dewan Komisaris wajib dipimpin oleh Komisaris Utama. Jika Komisaris Utama berhalangan hadir maka rapat Dewan Komisaris dapat dipimpin oleh salah seorang anggota Dewan Komisaris. Seluruh keputusan Dewan Komisaris yang dituangkan dalam risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh anggota Dewan Komisaris dan hasil rapat Dewan Komisaris wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. Jika terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas hasil keputusan rapat Dewan Komisaris, maka perbedaan pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasannya.
b)
Dewan Direksi.
Dewan direksi memiliki fungsi utama
dalam manajemen, yakni menetapkan tujuan stratejik dan prinsip-prinsip yang
akan dijadikan sebagai acuan lembaga keuangan islam. Kewajiban dan tanggung
jawab otoritas pengambilan keputusan untuk masing-masing level manajemen harus
ditentukan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab masing-masing anggota dewan
direksi. Dewan direksi juga memiliki kewajiban untuk menjaga transparansi dalam
menjalankan operasional perusahaan yang mengacu pada standar operasional
Lembaga Keuangan Syariah yang ditentukan oleh Basel Committee on Banking
Supervision (BCBS), Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions (AAOIFI), Islamic Financial Service Board (IFSB),
ataupun atas otoritas pengawas.
Dewan direksi tidak akan mampu
menjalankan tanggung jawabnya secara efektif tanpa didukung oleh sistem control
internal yang bagus, prosedur akuntansi yang relevan, audit internal dan
eksternal yang efektif, manajemen risiko yang efisien, memiliki aturan cheks
and balances, serta adanya perangkat regulasi dan prosedur yang
komprehensif. Dewan direksi tidak mungkin akan bisa melakukan semua tugas
tersebut secara efektif, jika mereka hanya mengedepankan self interest dan
mengabaikan kepentingan para stakeholder yang meliputi para pemegang
saham, depositor, pegawai ataupun pihak lain yang berkepentingan.[21]
Dengan demikian, kehadiran otoritas pengawas dan auditor eksternal adalah
sebuah keniscayaan guna mendorong dan memastikan dewan direksi untuk
menjalankan tugas-tugas sebagaimana yang telah ditentukan.
Selain itu, dewan direksi harus memiliki
profesionalitas, kompetensi, dan integritas moral yang sangat diperlukan untuk
mengelola bank syariah. Kualifikasi ini sangat diperlukan bagi bank syariah,
dikarenakan keberadaan bank syariah yang dibangun berdasarkan nilai-nilai moral
kemanusiaan, bersifat altruistik dan tidak mementingkan self-interest.[22]
Dengan kata lain, dewan direksi tidak boleh menerima keuntungan terselubung
untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka tidak diperkenankan memanipulasi harga
saham, atau mendapatkan keuntungan lainnya terkait dengan pengetahuan mereka
atas usaha bank. Hal ini sangat penting untuk dilakukan secara jujur dan sehat
untuk mencegah terjadinya moral hazard dalam manajemen bank.
Untuk itu, Bank Indonesia secara
spesifik mengatur tugas dan tanggung jawab dewan direksi dalam PBI 2009, antara
lain:
1.
Direksi bertanggung jawab penuh
atas pelaksanaan pengelolaan BUS berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip
Syariah.
2.
Direksi wajib mengelola BUS
sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam
Anggaran Dasar BUS dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Direksi wajib melaksanakan GCG
dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi,
Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil
pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau
auditor ekstern.
4.
Dalam rangka melaksanakan GCG,
Direksi wajib memiliki fungsi paling kurang: a. Audit Intern; b. Manajemen
Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan c. Kepatuhan.
5.
Direksi wajib
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham melalui Rapat
Umum Pemegang Saham.
6.
Direksi harus mengungkapkan
kepada pegawai kebijakan BUS yang bersifat strategis di bidang kepegawaian.
7.
Anggota Direksi dilarang
memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan
fungsi Direksi.
8.
Direksi hanya dapat menggunakan
jasa konsultan, penasihat, atau yang dapat dipersamakan dengan itu sepanjang
memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. proyek bersifat khusus yang sangat
diperlukan untuk kegiatan usaha BUS; b. didasari oleh kontrak yang jelas, yang
sekurang-kurangnya mencakup tujuan, ruang lingkup kerja, tanggung jawab, jangka
waktu pelaksanaan pekerjaan dan biaya; dan c. konsultan merupakan pihak
independen yang profesional dan memiliki kualifikasi yang cukup untuk
melaksanakan proyek secara efektif dan efisien.
9.
Direksi wajib menyediakan data
dan informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris dan
Dewan Pengawas Syariah.
10. Setiap
anggota Direksi wajib memiliki kejelasan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan
bidang tugasnya.
11. Direksi
wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap
anggota Direksi. Pedoman dan tata tertib kerja paling kurang mencantumkan: a.
waktu kerja; dan b. pengaturan rapat.
12. Setiap
keputusan Direksi bersifat mengikat dan menjadi tanggung jawab seluruh anggota
Direksi.
13. Setiap
kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui rapat Direksi. Hasil
rapat Direksi wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan
baik. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas
hasil keputusan rapat Direksi, maka perbedaan pendapat tersebut wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasannya.
c)
Dewan Pengawas
Syariah.
Secara umum pengawasan Bank Syariah
dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas Pembina dan pengawas bank. Namun
secara khusus dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah yang ada pada tiap bank
yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah.[23]
Dewan Pengawas Syariah merupakan badan
independen yang bertugas melakukan pengarahan (directing), pemberian
konsultasi (consulting), melakukan evaluasi (evaluating), dan
pengawasan (supervising) terhadap kegiatan bank syariah dalam rangka
memastikan bahwa kegiatan usaha bank syariah tersebut mematuhi (compliance)
terhadap prinsip syariah sebagaimana telah ditentukan oleh fatwa dan syariah
islam.
Dewan Pengawas Syariah merupakan
keunikan tersendiri yang dimiliki oleh lembaga keuangan syariah. Organisasi ini
terdiri dari cendekiawan Syariah yang bertugas mengawasi dan memantau kegiatan
lembaga keuangan untuk memastikan bahwa lembaga tersebut patuh terhadap prinsip
syariah.[24]
Adanya Dewan Pengawas Syariah ini merupakan salah satu hal pokok yang
membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah. Tugas utama DPS adalah
mengawasi pelaksanaan operasional bank dan produk-produknya supaya tidak
menyimpang dari aturan syariah.
Menurut Standar AAOIFI, dewan syariah
setidaknya harus terdiri atas tiga anggota cendekiawan syariah[25]
yang diangkat berdasarkan rapat umum pemegang saham (RUPS) dan dalam keadaan
tidak merangkap jabatan sebagai konsultan di seluruh Bank Umum Syariah dan/atau
Unit Usaha Syariah.Hal ini perlu dilakukan karena DPS sebagai badan independen
dapat terlepas dari konflik kepentingan.
Dalam pelaksanaan tugasnya, diatur dalam
pasal 46 PBI-2009. Berikut Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah:
- Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
- Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
- Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah meliputi: menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank, mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya, melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank, dan Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Apabila dalam pelaksanaan produk baru yang telah ditawarkan ternyata tidak memenuhi prinsip syariah, maka dalam hal ini Dewan Pengawas Syariah tidak memiliki wewenang untuk menghentikan produk tersebut karena ini merupakan otoritas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang menghentikan produk yang dimaksud.
- Dewan Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah secara semesteran yang disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester dimaksud berakhir. Dalam laporannya dibuat pernyataan bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini kemudian dimuat dalam laporan keuangan bank.[26]
- Dari segi kinerja bisa jadi tugas Dewan Pengawas Syariah lebih berat dari dewan komisaris. Hal ini bisa dilihat dari jumlah rapat yang wajib dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah dibandingkan oleh Dewan Komisaris. Dalam Pasal 49 ayat 1 PBI-2009 disebutkan rapat Dewan Pengawas Syariah wajib diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Sedangkan bagi dewan komisaris wajib diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia,
Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2001.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, Pasal 1
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman,
Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Abdul Ghofur Anshory, Hukum Perbankan Syariah, PT Rafika Aditama: Bandung,
2009.
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani: Jakarta.2007.
Pasal
22 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara
No. 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negaraa No. 3790.
Pasal
22 ayat (2) Undang-Undang Perbankan beserta Penjelasannya.
Pasal
23 Undang-Undang Perbankan.
Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Lembaga
Negara No. 94 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara No. 4867.
Pasal
5 ayat (6) dan ayat (9) Undang-Undang Perbankan Syariah
Pasal
79 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009
Pasal
9 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah
Pasal
7 Undang-Undang Perbankan Syariah
Pasal
2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009
Rachmadi
Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Andri
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana ,2009.
Cik
Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.
M.
Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta:
Bumi Aksara, 2008.
Mal
An Abdullah, Corporate Governance Perbankan Syariah di Indonesia ,Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2010.
Rachmadi
Usman, Aspek-aspek hukum perbankan di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka utama, 2003.
Hennie
van Grunieng dan Zaid Iqbal dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim, Islamic
Finance: The Regulatory Challenge, Singapura: John willey & Son, 2007.
Muhammad
Ayub, Understanding Islamic Finance, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2009.
[1] Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, Hal. 2.
[2] Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, Pasal 1
[3] Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010,
Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, h.
44.
[4] Abdul Ghofur Anshory, 2009, Hukum Perbankan Syariah, PT Rafika Aditama: Bandung, h. 2
[5] Muhammad Syafi’I Antonio, 2007, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani: Jakarta, H.25.
[6] Penjelasan atas UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
[7] Pasal 22 ayat
(1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara No. 182
Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negaraa No. 3790.
[8] Pasal 22 ayat
(2) Undang-Undang Perbankan beserta Penjelasannya.
[9] Pasal 23
Undang-Undang Perbankan.
[10] Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Lembaga Negara No.
94 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara No. 4867.
[11] Pasal 5 ayat (6)
dan ayat (9) Undang-Undang Perbankan Syariah
[12] Pasal 79
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009
[13] Pasal 9 ayat (1)
Undang-Undang Perbankan Syariah
[14] Pasal 7
Undang-Undang Perbankan Syariah
[15] Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009
[16] Rachmadi Usman, Aspek
Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.98
[17] Andri Soemitra, Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana ,2009), h.55-56
[18] Cik Basir, Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 45-46
[19] M. Umer Chapra
dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 101.
[20] Mal An Abdullah,
Corporate Governance Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010), h. 75.
[21] M. Umer Chapra
dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 43-44.
[22] M. Umer Chapra
dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 46.
[23] Rachmadi Usman, Aspek-aspek
hukum perbankan di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama, 2003), h.
68.
[24] Hennie van
Grunieng dan Zaid Iqbal dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim, Islamic
Finance: The Regulatory Challenge (Singapura: John willey & Son, 2007),
h. 28.
[25] Muhammad Ayub, Understanding
Islamic Finance (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 590.
[26]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek (Jakarta:
Gema Insani, 2001), h. 50.
HUKUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH,
YANG BERMANFAAT BAGI PRAKTIK
HUKUM PERBANKAN SYARI’AH
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah
HUKUM PERBANKAN SYARI’AH
Oleh :
T A R M I Z I
NIM : 5012017025
Dosen Pembimbing :
DR. EARLY RIDHO KISMAWADI, S.E.I, M.A
PROGRAM STUDI
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
2018
0 komentar:
Posting Komentar